Daftar Download

Daftar Download Kami : Permendiknas 13 Tahun 2007 , Permenpan dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 , Lampiran Permendiknas 16 Tahun 2007 , Format Jumlah Siswa 2010 , REALISASI PENGGUNAAN DANA BOS 2010 , SK Kuota Sertifikasi Guru Kab. Tegal Tahun 2009 , NUPTK Per 10 Mei 2010 , BIOSYSTEM V 4.1 Full, Entri Data Siswa , File Format Template Upload NISN


Kamis, 08 April 2010

Pensiun dan Gejala Depresi


 

Salah satu masa dalam rentang kehidupan manusia yang rentan terhadap depresi adalah masa pensiunan

Menurut Blakburn dan Davidson (dalam Kuntjoro, 2002) ada beberapa kondisi yang menyebabkan pensiunan mengalami depresi, antara lain: 

Pertama, Pensiun [baik itu pegawai negeri, swasta, maupun yang bergelut dalam dunia bisnis] seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak. Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan dan memperkuat harga diri). Oleh karenanya, sering terjadi orang yang pensiun bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya, ada yang malahan mengalami problem serius (kejiwaan atau pun fisik).

Kedua; usia, banyak orang yang takut menghadapi masa tua karena asumsinya jika sudah tua, maka fisik akan makin lemah, makin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan makin tidak menarik dan makin banyak hambatan lain yang membuat hidup makin terbatas. Pensiun sering diidentikkan dengan tanda seseorang memasuki masa tua. Banyak orang mempersepsi secara negatif dengan menganggap bahwa pensiun itu merupakan pertanda dirinya sudah tidak berguna dan tidak dibutuhkan lagi karena usia tua dan produktivitas makin menurun sehingga tidak menguntungkan lagi bagi perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja. Seringkali pemahaman itu tanpa sadar mempengaruhi persepsi seseorang sehingga ia menjadi over sensitif dan subyektif terhadap stimulus yang ditangkap. Kondisi ini lah yang membuat orang jadi sakit-sakitan saat pensiun tiba.

Lebih lanjut Marie Blakburn dan Kate Davidson (dalam Kuntjoro, 2002) mengemukakan bahwa gejala-gejala psikologis adanya depresi bila ditinjau dari beberapa aspek, adalah sebagai berikut : 1. Suasana hati, ditandai dengan kesedihan, kecemasan, mudah marah. 2. Berpikir, ditandai dengan mudah hilang konsentrasi, lambat dan kacau dalam berpikir, menyalahkan diri sendiri, ragu-ragu, harga diri rendah. 3. Motivasi, ditandai dengan kurang minat bekerja dan menekuni hobi, menghindari kegiatan kerja dan sosial, ingin melarikan diri, ketergantungan tinggi pada orang lain. 4. Perilaku, di tandai dengan gelisah terlihat dari gerakan yang lamban, sering mondar-mandir, menangis, mengeluh, 5) Hilang nafsu makan atau nafsu makan bertambah, hilang hasrat seksual, tidur terganggu.

Menurut Kim, J., E. dan Moen, P., (dalam Rini 2001) dari Cornell University meneliti hubungan antara pensiun dengan depresi. Keduanya menemukan: Wanita yang baru pensiun cenderung mengalami depresi lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah lama pensiun atau bahkan yang masih bekerja, terutama jika sang suami masih bekerja; Pria yang baru pensiun cenderung lebih banyak mengalami konflik perkawinan dibandingkan dengan yang belum pensiun; Pria yang baru pensiun namun istrinya masih bekerja cenderung mengalami konflik perkawinan lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang sama-sama baru pensiun namun istrinya tidak bekerja; Pria yang pensiun dan kembali bekerja dan mempunyai istri yang tidak bekerja, maka keduanya memiliki semangat lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang keduanya sama-sama tidak bekerja.

Dikutip dari : Blog Arifiyan

 

 



Ciri-ciri Semangat Kerja yang Tinggi


"Ciri-ciri yang dipakai untuk mengukur tinggi rendahnya
semangat kerja yang dimiliki karyawan"

Sebagian besar mengacu pada pendapat Maier yang menyebutkan ada empat konsep dasar yang mencerminkan semangat kerja yang tinggi yaitu, antara lain :

a. Kegairahan atau antusias (Zest, Enthusiasm). 

Maier mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kegairahan dalam bekerja berarti juga memiliki motivasi atau dorongan untuk bekerja, motivasi tersebut akan terbentuk bila kurang memiliki keinginan atau minat dan kegembiraan dalam melakukan pekerjaannya. Keinginan atau minat karyawan bekerja mencerminkan adanya dorongan karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan. Keinginan karyawan untuk bekerja dikatakan kuat bila karyawan melakukannya bukan karena adanya perasaan cemas.

b. Kualitas untuk bertahan (Staying Quality)

Setiap orang tentu mempunyai tujuan tertentu dalam bekerja dan berusaha untuk mencapainya, makin besar usaha individu untuk mengatasi kesulitan dalam mencapai tujuannya, menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki semangat kerja yang tinggi. Maier menyatakan bahwa individu tetap berusaha mencapai tujuan semula meskipun mengalami kesulitan, ini menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki kualitas untuk bertahan.

c. Kekuatan melawan frustasi (Resistence to Frustation)

Maier menyatakan bahwa kekuatan melawan frustasi berbeda dengan kualitas untuk bertahan, meskipun secara umum keduanya mencerminkan bagaimana individu tersebut menghadapi rintangan yang ditemui selama bekerja. Pada aspek ini Maier melibatkan suatu hal yang menarik untuk mengetahui semangat kerja individu, yaitu frustasi.

d. Semangat berkelompok. 

Semangat kerja menurut buku Multipal Personal Administration yaitu; bahwa semangat kerja adalah, sikap perorangan atau sikap kelompok dari masing-masing individu terhadap pekerjaan dan lingkungan pekerjaan.


Dikutip dari : Blog Arifiyan

Semangat Kerja Bagi Karyawan


Persaingan dunia usaha yang semakin meningkat, menuntut perusahaan-perusahaan terus membenahi diri (Frontliner) tetapi juga bisa melanda para pekerja di tingkat atas (managerial level). Oleh karena itu banyak perusahaan yang melakukan berbagai upaya pencegahan. dengan meningkatkan mutu dan kualitas output dari perusahaan itu, cara dilakukan untuk meningkatkan out put adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di perusahaan itu sendiri. Salah satu aspek penting dalam sumber daya manusia adalah semangat kerja. Pada dunia kerja, semangat kerja sangat penting mengingat hal tersebut dapat mempengaruhi produktivitas kerja pegawai. Kebosanan kerja bisa terjadi bukan saja pada pekerja di tingkat bahwa

Kossen (dalam Kurniawati, 2002) mengemukakan bahwa sikap karyawan yang berkaitan dengan kondisi semangat kerjanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: organisasi itu sendiri, aktivitas-aktivitas kerja karyawan itu sendiri, sifat dari pekerjaan, teman-teman sejawat, pimpinan mereka, konsep diri, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka.

Sedangkan menurut Flippo (dalam Kurniawati, 2002) faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya semangat kerja, antara lain: upah kerja, keamanan kerja, kondisi fisik kerja, penghargaan terhadap pekerjaan yang dilakukan, pimpinan yang mampu dan adil, kesempatan untuk maju dan mengembangkan diri, kecocokan dan keserasian dengan rekan kerja, keuntungan baik fisik maupun psikis, status sosial yang diterima karyawan dan kegiatan yang bermanfaat bagi karyawan.

Semangat kerja sangat penting dalam segala aktivitas kerja, bahkan semangat kerja akan menentukan lancar-tidaknya atau berkembang-tidaknya suatu perusahaan. Oleh sebab itu setiap organisasi kerja atau perusahaan harus menjaga agar semangat kerja itu tetap tinggi. Namun hal tersebut bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan karena banyak faktor yang berpengaruh terhadap kondisi semangat kerja.

Dari dua pendapat Kossen dan Flippo di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja beragam mulai dari faktor dalam organisasi, aspek psikologis individu, interaksi dan komunikasi dengan rekan sekerja, atasan, serta aspek dari pekerjaan itu sendiri, seperti beban kerja dan gaji yang diberikan pada karyawan.

Seorang karyawan yang memiliki semangat kerja yang baik tentunya akan memberikan sikap yang positif seperti kesetiaan, kegembiraan, kerja sama, kebanggaan dalam dinas dan ketaatan dalam kewajiban. Berbeda dengan karyawan yang memiliki semangat kerja yang rendah, karena karyawan tersebut cenderung menunjukkan sikap yang negatif seperti suka membantah, merasa gelisah dalam bekerja dan merasa tidak nyaman.

Dikutip dari : Blog Arifiyan

 

 

 

Pentingnya Kontrol Diri


Perubahan-perubahan sosial yang cepat (rapid sosial change) sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi telah mempengaruhi perilaku, nilai-nilai moral, etika, dan gaya hidup (value sistem and way of life).

Keberadaan hawa nafsu disamping memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, juga dapat melahirkan madlarat (ketidaknyamanan, atau kekacauan dalam kehidupan, baik personal maupun sosial). Kondisi ini terjadi apabila hawa nafsu tidak dikendalikan atau dikontrol, karena memang sifat yang melekat pada hawa nafsu adalah mendorong (memprovokasi) manusia kepada keburukan atau kejahatan (dalam Psikologi Belajar Agama, 2003).

Menurut Fachrurozi (dalam Jawa Pos, 2004) kegilaan masyarakat saat ini adalah personifikasi atas kegilaan yang dialami sebagai implikasi dari modernitas, bahwa modernitas, disamping melahirkan kemajuan dalam berbagai aspek (teknologi informasi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya), ternyata juga melahirkan kegilaan atau gangguan kejiwaan. Diharapkan setiap individu mampu mengontrol diri terhadap setiap perubahan yang terjadi.

Tindakan-tindakan tidak terkontrol sering dikaitkan dengan remaja, karena seringkali bentuk perkelahian dilakukan oleh para remaja, sehingga perkelahian antar remaja sudah menjadi fenomena yang biasa di masyarakat luas terutama di kota-kota besar, perkelahian ini biasanya dipicu oleh masalah-masalah yang sepele, seperti bersenggolan di jalan, atau saling pandang yang ditafsirkan sebagai bentuk menantang, dan biasanya berakhir dengan perkelahian, perkelahian antar remaja pada awalnya hanya melibatkan dua individu kemudian berkembang menjadi perkelahian antar kelompok.

Menurut Lewin (dalam Winarno, 2003) kondisi tersebut dikarenakan dalam kelompok terdapat sifat interdependen antar anggota dan kondisi seperti itu berpeluang menjadi konflik SARA, dikarenakan Indonesia terdiri berbagai macam suku, agama, ras, yang berbeda-beda, sehingga individu akan merasa cemas, tidak aman, dan mudah tersulut emosi bila kontrol diri individu kurang. Oleh karena itu, kontrol diri diperlukan untuk mengontrol emosi yamg berasal dari dalam dan luar individu sebagai bentuk sosialisasi yang wajar.

Menurut Drever, kontrol diri adalah kontrol atau pengendalian yang dijalankan oleh individu terhadap perasaan-perasaan, gerakan-gerakan hati, tindakan-tindakan sendiri, sedangkan Goleman (dalam Sarah, 1998) mengartikan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan dengan pola sesuai dengan usia. Bander (dalam Sarah, 1998) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan tindakan yang ditandai dengan kemampuan dalam merencanakan hidup, maupun frustasi-frustasi dan mampu menahan ledakan emosi. Masa-masa remaja ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat mengkontrol dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya.

Dikutip dari : Blog Arifiyan